HMI Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara


Judul Buku                  : HMI 1963-1966
Penulis                        : M. Alfan Alfian Mahyudin
Penerbit                       : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit               : 2013
Jumlah Halaman        : 269 Halaman
Harga                          : Rp 59.000,00
HMI Di Tengah Pusaran Politik Orde Lama
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa islam paling tua dan paling besar di Indonesia saat ini. Tokoh–tokoh seperti Mahfud MD, Anies Baswedan, dan Jusuf Kalla, juga pernah berkecimpung dalam HMI bahkan sampai saat ini tergabung dalam Keluarga Alumni HMI (KAHMI). HMI dibentuk pada tahun 1947 dan diprakarsai oleh Lafran Pane bersama 14 mahasiswa Sekolah Tinggi Islam atau yang sekarang lebih dikenal dengan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. HMI pernah memiliki pengalaman terjun dalam revolusi fisik melawan kolonial Belanda semakin meneguhkan posisi dan semangat HMI dalam kehidupan kemahasiswaan dan bernegara. HMI cepat menjadi organisasi mahasiswa yang besar karena berhasil memenuhi aspirasi mahasiswa dan tuntutan pemuda yang siap sedia membela negara.
Tahun 1963-1966 adalah masa–masa yang cukup penting bagi HMI dalam kiprahnya sebagai organisasi mahasiswa Islam yang cukup berkembang saat itu. Setelah Dekrit Presiden tahun 1959, Soekarno menjadi pusat tunggal kekuasaan yang mengendalikan negara dan sistem pemerintahan. Dengan begitu, Soekarno leluasa membuat garis politik yang menurutnya terbaik untuk Indonesia saat itu. Tiga simpul kekuatan politik di Indonesia yakni kekuatan para nasionalis, kekuatan agama,dan kekuatan komunis,disatukan dalam doktrin “Nasakom”, Nasionalisme, Agama, dan Komunis. HMI yang saat itu sudah memiliki struktur organisasi dan kader yang kuat merata di sebagian besar kampus di Indonesia, dihadapkan pada situasi menyikapi Nasakom tersebut.
Buku ini menceritakan dengan cukup detail bagaimana dinamika organisasi HMI ketika berhadapan dengan situasi pergolakan ideologis saat itu. HMI terstigma sebagai underbow Masyumi, sebuah partai Islam yang dibubarkan pemerintah karena dianggap bersimpati terhadap gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan kondisinya yang begitu, dan berseberangnya ideologi HMI yang mengusung Islam dengan PKI yang mengusung komunis, salah satu kekuatan besar di Indonesia pada masa itu, ditambah dengan kedekatan yang tinggi dengan Soekarno, menjadikan HMI berada pada posisi yang dilematis. Padahal, kenyataannya HMI adalah organisasi mahasiswa islam yang independen dan tidak ada sangkut pautnya dengan partai politik yang ada, apalagi dengan Masyumi. PKI sebagai kekuatan politik kiri yang sedang naik daun pada masa Demokrasi Terpimpin dan memiliki karakter yang cenderung akan menghancurkan kekuatan–kekuatan lain yang dianggap menghambatnya,memposisikan HMI sebagai kekuatan yang berseberangan dengannya. PKI sampai berani memprovokasi Bung Karno agar segera membubarkan HMI. Namun, Bung Karno bergeming dan tetap mempertahankan HMI.
Diawali dengan bab Pendahuluan yang menjelaskan tentang konteks situasi prahara yang terjadi di sekitar tahun 1963-1966 dan sistematika pembahasan dalam buku ini. Bab 2 membahas hari–hari penuh gejolak, HMI dalam pusaran politik yang menjelaskan bagaimana pihak–pihak yang memiliki kekuasaan saat itu yaitu PKI, ABRI, kekuatan kelompok Islam, dan Soekarno sebagai pusat kekuasaan,bermanuver untuk mempertahankan kepentingannya masing–masing. Manuver–manuver politik dari ABRI sebagai kekuatan penyeimbang PKI di hadapan Soekarno, PKI yang berseberangan dengan kelompok Islam, dan PKI yang ingin berkuasa sehingga gencar sekali mendekati Soekarno hingga meletuslah momentum G30S/PKI. Sejarah mencatat bahwa ternyata HMI tidak saja tetap eksis dan survive, tapi juga berperan penting sebagai representasi mahasiswa islam dalam keikutsertaannya mewarnai babak penting bangsa yaitu ketika transisi politik terjadi pasca G30S/PKI.
Bab 3 membahas HMI sebagai organisasi modern mulai dari keorganisasian, doktrin perjuangan, struktur organisasi, pengelolaan organisasi, KOHATI (Department keputrian di HMI yang kemudian menjadi semi otonom), KAHMI sebagai wadah alumni HMI, pengkaderan HMI, arah dan jenjang pengkaderan, hingga kurikulum training. Pada bab ini pembaca akan dibawa menyelami keorganisasian HMI dengan cukup mendalam sehingga pembaca memahami bagaimana HMI bisa mencetak kader–kader mahasiswa islam yang tangguh dan bisa menjadi tokoh besar masyarakat di kemudian hari. Bab 4 memaparkan tentang HMI merespons dinamika eksternal. Bagaimana HMI dalam pergerakan kemahasiswaan dan sikap serta hubungan yang dijalin HMI dengan organisasi–organisasi kemahasiswaan lainnya, hubungan HMI dengan TNI, Sekber Golkar, serta ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, dan bagaimana strategi survival HMI hingga bisa bertahan sampai saat ini bahkan terus berkembang pesat. Itu semua tidak lepas dari pilihan–pilihan strategi para pemimpin dan elite strategis HMI pada masa itu yang walaupun banyak diwarnai oleh sikap–sikap yang akomodatif, tetap tidak mengorbankan prinsipnya sebagai organisasi kemahasiswaan Islam. Bab 5 merangkum hal–hal penting dari keseluruhan pembahasan bab–bab sebelumnya.
Buku ini mampu menceritakan sejarah dengan urutan kronologis yang mudah dipahami seperti di bab 2 dan bab 4. Pembaca akan dibawa mengalir dalam cerita demi cerita dinamika HMI dengan segala situasinya. Alur yang mudah dipahami inilah yang menjadikan cerita sejarah menjadi tidak terkesan berat. Buku ini tidak disusun seperti buku–buku kronik sejarah pada umumnya yang menceritakan kronologis dari awal sampai akhir, tapi buku ini ingin meneropong lebih luas tentang perjalanan HMI pada periode 1963-1966 tersebut dengan meletakkan bab intinya di bab 2 kemudian disambung dengan bab 4 yang menjelaskan lebih detail tentang gerakan dan manuver HMI agar tetap eksis dari tantangan eksternal. Terbaginya pembahasan sejarah dalam bentuk sub bab–sub bab penting tapi tetap teralur akan memudahkan pembaca dalam memahami isi buku ini.  Adanya bab 3 akan membantu pembaca yang sebelumnya awam tentang HMI jadi bisa memahami organisasi HMI dengan lebih utuh. Adanya catatan kaki juga membantu untuk mendalami pada bagian–bagian tertentu yang membutuhkan penelurusan sumber lebih dalam. Buku ini juga dilengkapi kutipan dokumen, artikel,dan foto yang berhubungan dengan pembahasan sehingga memberikan ilustrasi yang cukup bagi pembaca.
Kekurangan buku ini menurut saya ada di letak bab 3 yang harusnya bisa menjadi asumsi dasar obyek yang dibahas dalam buku ini, bisa ditaruh bab awal sehingga sistematikanya akan lebih terasa pas. Selain itu, pembahasan bab 4 ada beberapa sub bab yang sebenarnya cukup penting didalami namun sedikit porsinya dalam pembahasan seperti HMI dan organisasi–organisasi kemahasiswaan lainnya, HMI dan Sekber Golkar, HMI dan dinamika umat Islam, HMI dan NU, HMI dan Muhammadiyah. Jika pembahasannya lebih dalam akan lebih luas pula pemahaman pembaca terhadap HMI. Bacaan ini direkomendasikan bagi kader HMI, alumni HMI, aktivis mahasiswa, pengamat sejarah yang berfokus pada persoalan gerakan mahasiswa, dan masyarakat lain yang ingin mengetahui tentang HMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar