Judul Buku : Mencetak Pemimpin Politik dari Bawah
Penulis : Muslimin Abdilla,Edy Musyadad, Muklis Irawan
Penerbit : Alharaka
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 123 Halaman
Harga : Rp 65.000,00
Kaderisasi Pemimpin Politik dari Rakyat
Indonesia saat ini bisa dibilang sedang mengalami krisis kepemimpinan politik. Itu bisa dilihat dari pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi. Hal ini senada dengan pernyataan dari kementrian dalam negeri (Kemendagri) bahwa ada sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur tersandung kasus korupsi. Dari kebanyakan kasus korupsi yag melibatkan kepala daerah umumnya terkait praktik suap dalam hal perizinan. Korupsi adalah salah satu bentuk penyengsaraan terhadap rakyat karena mereka tidak mendapatkan hak–hak yang harusnya mereka dapatkan sebagaimana mestinya. Bila pemimpin politik memenuhi kualifikasi kompetensinya, tentu rakyat juga dapat terpenuhi hak–haknya.
Pemimpin politik idealnya adalah orang–orang yang memiliki kompetensi menggerakkan masyarakat untuk sama–sama menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Dia tidak harus seorang “superman” tapi dia haruslah yang memahami masalah masyarakat dan mampu menerjemahkan masalah–masalah tersebut dalam kacamata rakyat juga, bukan kepentingan selain rakyat. Oleh karena itu, kaderisasi pemimpin politik dari bawah perlu sekali dilakukan untuk menjaring potensi–potensi yang murni dari rakyat dan benar–benar berpihak akan rakyat, bukan politisi–politisi karbitan yang tiba–tiba ada menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah, padahal belum pernah dikenal atau bahkan belum ada kontribusi nyata dan pengabdiannya di masyarakat.
Buku ini mengulas proses kaderisasi pemimpin politik dari masyarakat bawah dengan mengambil latar Dusun Dasun, Kabupaten Kediri beberapa tahun menjelang Pilkada 2010. Pemerintah daerah setempat selama periode 2005-2010 tidak berfokus pada pembangunan masyarakat hingga level daerah. Pembangunan yang dilakukan tidak menyentuh masalah masyarakat seperti jalan rusak yang menyebabkan akses ekonomi menjadi macet, pendidikan yang masih rendah dan pertanian yang semakin tidak menghasilkan. Hal itu mendorong masyarakat untuk bergerak sendiri mengorganisasikan diri untuk menjalankan solusi. Justru berawal dari gerakan masyarakat secara swasembada ini menumbuhkan kesadaran politik bahwa perjuangan membangun keadilan harus dilakukan secara lebih luas dengan melibatkan lebih banyak rakyat. Munculnya calon pemimpin yang berasal dari calon kader yang mendorong komunitas warganya menyelesaikan masalah–masalah kecil secara terus menerus menjadikan mereka sosok ideal dalam konteks pemimpin rakyat. Berawal dari pembentukan koperasi simpan pinjam lalu berkembang menjadi paguyuban perempuan Sido Rukun yang mewadahi seluruh kegiatan sosial, pendidikan, dan ekonomi yang selama ini dilakukan warga dusun hingga menjadi Serikat Rakyat Kediri Berdaulat yang diperhitungkan secara politik di wilayah Kabupaten Kediri.
Pembahasan buku terbagi dalam 4 bagian. Bagian pertama membahas kepemimpinan politik di Indonesia. Bagian ini mengulas tentang kaderisasi kepemimpinan nasional periode pasca kemerdekaan dan memasuki periode reformasi. Juga dibahas tentang peranan partai dalam kaderisasi politik mulai periode pasca kemerdekaan, orde baru, dan reformasi. Bagian pertama ini menunjukkan kesejarahan dan sebab mengapa di era sekarang pola kepemimpinan elitis mengakar kuat di masyarakat. Bagian kedua menjelaskan dampak kepemimpinan elitis dengan mengambil fenomena kasus pemerintahan Kabupaten Kediri. Di bagian ini menjelaskan kondisi perkembangan ekonomi, sosial, budaya Kabupaten Kediri, lalu kesejarahan politik Kabupaten Kediri dari Pangeran Slamet Poerbonegoro hingga ke Dinasti Sutrisno. Lalu berlanjut pada kondisi Kabupaten Kediri di Era Reformasi yang justru mengalami kemunduran di banyak hal, yaitu angka kematian ibu dan anak meningkat, ekonomi rakyat semakin buruk, banyak sekolah rusak, jembatan yang dibutuhkan rakyat malah tidak dibangun dan malah membangun proyek mercusuar di tengah kemiskinan rakyat Kemudian ditambah dengan konflik tanah dan sulitnya sarana produksi pertanian.
Bagian ketiga membahas pola dan strategi dalam membangun kepemimpinan politik dari bawah. Dipaparkan mengenai bagaimana rakyat desa mengorganisasi diri dengan memulainya lewat rekrutmen penggerak kelompok dari desa, mendorong berdirinya organisasi, mendirikan paguyuban, menginspirasi dusun lain, dan menjadikan kader terbaik paguyuban maju menjadi calon pemimpin politik. Terbukti, Sulastri, kader terbaik paguyuban mampu memenangkan pilkades Desa Joho. Sulastri adalah salah satu penggerak yang sejak awal memiliki inisiatif untuk solusi perbaikan masalah di dusunnya. Dan perjuangan tidak berhenti sampai disitu saja. Semua kelompok mulai menyatukan kepentingan dalam organisasi aliansi SRKB (Serikat Rakyat Kediri Berdaulat). SRKB pun semakin mendapat tempat dan diperhitungkan dalam kancah politik Kabupaten Kediri. Itu yang kemudian mendorong mereka mengajukan calon terbaik dari SRKB untuk maju dalam Pilkada 2010 dan melakukan langkah–langkah pemenangan. Bagian keempat sebagai rangkuman dari bagian-bagian sebelumnya.
Kelebihan buku ini adalah pembahasan yang sistematis dari awal hingga akhir. Pembaca akan bisa dengan mudah memahami isi buku karena per bagian disampaikan dengan model penyampaian seperti kronologis peristiwa yang berurutan. Selain itu, pembaca akan bisa merasakan spirit kemandirian rakyat dalam membangun dan menghasilkan sendiri kader terbaik yang berasal dari rakyat dan memahami masalah rakyat, hal yang jarang kita jumpai saat ini. Meskipun pembahasannya tentang politik, namun relatif tidak banyak dijumpai diksi yang sulit untuk dimengerti. Dilengkapi pula dengan catatan kaki yang menjelaskan sumber–sumber terkait atau menerangkan istilah–istilah asing. Buku ini juga dilengkapi foto–foto pendukung seperti foto pelantikan Sulastri sebagai kades, deklarasi paguyuban dusun, dan sebagainya. Adanya grafik dan skema untuk membantu penjelasan juga memudahkan pembaca dalam memahami paparan yang disampaikan.
Kekurangan buku ini terletak pada bagian yang diulang dalam pembahasan seperti ketika menerangkan permasalahan Desa Joho di halaman 51 sudah diuraikan detail kemudian di halaman 54 dijelaskan kembali. Mungkin maksudnya untuk meringkas dan menyambung pembahasan di halaman 54, namun dengan jarak halaman yang tidak jauh justru menjadi pengulangan penjelasan. Kertas yang cukup tipis menyebabkan cetakannya agak tembus antara halaman depan dengan belakangnya sehingga menyebabkan kurang nyaman dibaca. Buku ini akan lebih baik jika ada skema berisi konstruksi alur proses memunculkan pemimpin politik dari bawah di bagian terakhir buku atau setelah penjelasan bagian ketiga selesai yang bisa membuat pembaca mendapatkan kesimpulan point pentingnya. Direkomendasikan untuk mahasiswa sosial politik, akademisi, pengamat politik, aktivis yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui proses riil membangun partisipasi politik dari bawah.