Judul Buku : MemulihkanSekolah,Memulihkan Manusia
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman : 212
Dimensi dan Cover: 14 x 20,5 cm, soft cover
ISBN : 978-602-441-135-0
Kategori : Pendidikan
Harga : Rp 45.000,-
Memformat Ulang Pendidikan Kita
Nurul Khotimah
Membicarakan pendidikan di Indonesia seolah tidak ada habisnya. Selalu ada saja bahan yang bisa dikaji, didiskusikan bahkan diperdebatkan. Tema yang cukup populer diperbincangkan salah satunya adalah format pendidikan di Indonesia. Beberapa ‘kiblat’ pendidikan ditawarkan untuk dijadikan referensi seperti pendidikan di Finlandia, Jepang, Korea, Australia, Inggris, dan Amerika. Perdebatan dan perbedaan pandangan ini tidak hanya terjadi di masyarakat umum namun juga para pakar dan aktivis pendidikan serta pemegang kebijakan. Di lain sisi, beberapa pihak yang menawarkan ‘kiblat’ tersebut kurang mempertimbangkan konteks Indonesia yang sangat berbeda dengan kondisi negara-negara yang sistem pendidikannya sudah bagus itu.Dalam keruhnya perdebatan itu, Haidar Bagir hadir dengan bukunya yang berjudul Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia. Ketua Yayasan Pendidikan Lazuardi ini membawa kita merefleksi kembali tentang kondisi pendidikan di Indonesia sebelum berbicara lebih jauh pada referensi dan konsep-konsep pendidikan yang berkembang di luar sana. Haidar mengingatkan pada kita semua tentang falsafah pendidikan di Indonesia yang telah mengalami dinamika hebat sejak sebelum Indonesia merdeka hingga kini. Beberapa pertanyaan di bagian pertama buku ini akan mengajak pembaca berdialektika, seperti pada sub bab Kembali Bertanya : Apa Tujuan Sistem Pendidikan Kita?, Pendidikan yang Memanusiakan, Pendidikan Manusia vs Artificial Intelligence, dan Mendidik Anak Pintar atau Anak Bahagia?. Pembaca akan diajak merenung sembari melihat kenyataan pendidikan Indonesia sekarang. Penulis seakan menuntun pikiran pembaca untuk kembali pada esensi pendidikan yaitu serangkaian proses dan aktivitas untuk mengaktualkan potensi manusia (fisik,mental,spiritual, kemampuan, daya pikir dan sebagainya) demi menjadi manusia sejati.
Dalam bab pertama pula, Haidar menyajikan konsep-konsep yang sudah banyak beredar di dunia pendidikan lalu mengemasnya untuk menjawab hal-hal yang banyak diabaikan dalam pendidikan Indonesia. Seperti konsep Multiple Intelligence (MI) yang kurang mendapatkan tempat di sistem pendidikan Indonesia karena kurikulum yang terbentuk cenderung menjadikan science dan matematika sebagai tolak ukur keberhasilan siswa. Padahal, bakat tiap siswa bisa berbeda-beda. Sayang sekali jika kemudian bakat itu diabaikan, tidak digali dan tidak dikembangkan. Penulis juga menunjukkan kelebihan konsep MI, strategi penerapannya di kelas dan kiat mengidentifikasi bakat siswa.
Penulis juga menawarkan konsep “Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan”. Maknanya, imajinasi lebih dibutuhkan untuk mendorong kreativitas. Kreativitas mendorong terjadinya hal-hal baru dalam pembelajaran dan pemecahan masalah. Kemudian, penulis juga menyodorkan konsep keseimbangan antara IQ,EQ dan SQ. Hal ini didorong oleh cukup banyak penelitian yang membuktikan bahwa faktor terbesar dari kesuksesan seseorang bukan semata terletak pada IQ. Aspek selain IQ seperti EQ dan SQ merupakan faktor yang membentuk kemampuan seseorang untuk bisa beradaptasi dalam berbagai kondisi serta kemampuan bertahan dalam situasi sulit.
Hal menarik lainnya dalam buku ini adalah bagaimana penulis mencoba ‘mendobrak’ paradigma yang sudah cukup mengakar kuat di pendidikan kita. Paradigma seperti ‘siswa sukses adalah yang mendapat ranking’, ‘sekolah adalah tempat untuk adu keberhasilan dan kecemerlangan anak’, hingga tentang urgensi ujian nasional untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia. Bagi penulis, sekolah bukanlah tempat untuk berhasil melainkan tempat untuk ‘gagal’ sebab selama bersekolah mereka mendapatkan hal-hal baru dan masih berproses belajar. Pendidikan harusnya menjadikan anak cinta dan terampil belajar, kemudian mengembangkan kepercayaan diri, keberanian berekspresi dan keterampilan berkomunikasi, serta mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan dan hidup demokratis. Semua itu harusnya bisa terwujudkan dalam proses yang dilakukan oleh institusi pendidikan seperti sekolah dan kampus.
Penulis buku ini juga memberikan kritik terhadap patokan yang dianut juga oleh pendidikan Indonesia dalam mengukur keberhasilan sistem pendidikannya yaitu TIMSS (standar keberhasilan siswa diukur lewat pelajaran science dan matematika), serta PISA (mengukur keberhasilan siswa hanya dari kemampuan literasi dasar seperti baca, tulis, hitung). Dalam hal ini, Haidar menyatakan bahwa ada kemungkinan patokan yang digunakan ini kurang komprehensif karena hanya melihat pada sebagian kecil subyek/pelajaran tertentu sehingga menyebabkan kesimpulan yang parsial dalam memandang output dari sistem pendidikan kita.
Hal ini berhubungan dengan Ujian Nasional (UN) yang bagi penulis dianggap sebagai sistem kelulusan yang bertentangan dengan prinsip penilaian berbasis portofolio. Dengan portofolio akan lebih memungkinkan bagi peserta didik untuk menunjukkan bakat dan potensinya sehingga penilaian akan lebih sesuai dengan kondisi siswa dan kondisi pendidikan di daerah tersebut. Dengan penilaian berbasis portofolio, guru akan menilai berdasarkan karya dan perkembangan siswa sehingga guru dituntut untuk mampu melihat proses belajar siswa secara utuh.
Dalam bab ketiga buku ini, Haidar menawarkan solusi atas semua permasalahan yang telah diulasnya di dua bab sebelumnya. Solusi itu adalah falsafah pendidikan Islam. Menurut pandangan penulis, pendidikan Islam menawarkan konsep yang integral dalam membentuk manusia. Tidak hanya kemampuan saja yang dibentuk melainkan juga adab, akhlak dan budi pekerti/karakter menjadi pondasi utama yang harus dibangun dalam diri setiap manusia. Dalam praktiknya, falsafah pendidikan Islam akan termanifestasikan dalam pendidikan agama. Pendidikan agama harusnya bisa menanamkan pondasi akhlak bagi peserta didik.
Pada akhirnya, menurut penulis, di tengah banyaknya kesalahan mendasar yang harus diluruskan dalam sistem pendidikan Indonesia, yang paling penting adalah upaya untuk memulihkan sekolah. Upaya pemulihan yang dilakukan bertujuan agar sekolah bisa menjadi tempat mendidik siswa agar dapat menjadi manusia-manusia yang merdeka, yang mampu memelihara dan mengembangkan spiritualitasnya dan kapasitasnya sehingga bisa memberikan kontribusi positif bagi lingkungan tempat dia hidup dan berada.
Kekuatan buku ini terletak pada gaya penulisan yang cenderung mengalir, santai dan reflektif. Teori-teori pendidikan terasa lebih mudah masuk dan dipahami oleh pembaca. Lembar-lembar khusus kutipan atau poin penting membantu pembaca untuk memahami narasi yang dipaparkan. Ukuran font, jenis font dan spasi yang digunakan juga cukup pas sehingga tidak melelahkan mata saat membaca. Diksi yang dipilih relatif mudah dimengerti. Susunan topik dari bab satu hingga bab 3 juga cukup sistematis.
Namun, yang menjadi kekurangan buku ini adalah kurangnya ilustrasi yang mendukung pemaparan materi. Pembaca yang tidak seberapa suka dengan buku yang full berisi tulisan tanpa selingan ilustrasi, mungkin akan merasa sedikit bosan saat membaca buku ini. Selain itu, di beberapa bagian, kalimat-kalimatnya terasa terlalu panjang dan kurang efektif serta penempatan tanda baca yang kurang tepat. Hal ini menyebabkan ambiguitas makna dan butuh dibaca lebih dari satu kali untuk bisa memahami makna kalimat itu dengan lebih tepat. Untuk bab ketiga akan lebih baik lagi jika dijelaskan lebih komprehensif dan mendetail sehingga keterikatan bab satu, dua dan tiga lebih terasa solid.
Buku ini cocok untuk dibaca para pendidik, orang tua peserta didik, pengambil kebijakan bidang pendidikan, mahasiswa dan masyarakat umum yang berminat di bidang pendidikan. Buku ini bisa dibaca dalam kondisi santai tanpa harus mengernyitkan dahi. Banyak inspirasi dan dialektika yang bisa didapatkan dan didiskusikan dari gagasan yang disampaikan penulis. Semoga buku ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar