Resensi Buku Muslim Pentol Korek: Islam di Mata Santri Jenaka

 

Judul Buku                  : Muslim Pentol Korek

Penulis                         : Fariz Alniezar

Penerbit                       : Quanta Book

Tahun Terbit                : 2017

Jumlah Halaman          : x + 184

Dimensi dan Cover     : 14 x 21 cm, soft cover

ISBN                           : 978-602-04-4393-5

Kategori                      : Sosial Agama

Harga                          : Rp 40.000,-

 

muslim pentol korek

 foto: zanafa.com


Islam di Mata Santri Jenaka

Nurul Khotimah

Islam di Indonesia adalah Islam yang memiliki kekhasan tersendiri. Menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar sedunia membuat Indonesia selalu diperhatikan oleh umat Islam di negara-negara lain. Indonesia ibarat trend centre isu-isu tentang Islam. Di sisi lain, jumlah penganut Muslim terbanyak ini juga menjadi lahan tumbuh suburnya berbagai aliran dan pemahaman dalam Islam. Mulai yang fundamentalis, sekuler-liberal hingga kejawen memiliki pengikut yang bisa dibilang cukup banyak juga di Indonesia. Hadirnya ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah juga turut mewarnai pemikiran umat di Indonesia.

Di era globalisme seperti sekarang ini, jika kita amati lebih dalam, agama makin jauh dari ruang-ruang kehidupan dan hanya dipahami sebatas simbol tanpa ada penghayatan dan implementasi secara lebih kontekstual. Di Indonesia sendiri khususnya, bisa dilihat bagaimana polarisasi antara kaum agamis/religius dengan kaum nasionalis dalam situasi politik. Pemilihan presiden 2019 dan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama adalah sekelumit contoh betapa agama saat ini terlihat penting namun kosong. Sebab, jika kita melihat lebih luas, masih banyak sekali kriminalitas, kasus korupsi, dan perkara moral lainnya yang masih jauh dari kata baik. Setiap hari akan selalu ada isu-isu yang berhubungan dengan agama entah dibalut dalam model kasus teroris, kriminal, politik, asusila dan sebagainya.

Di buku berjudul Muslim Pentol Korek ini, kita akan diajak untuk menyelami fenomena atau isu. Bahkan, kasus di masyarakat yang bisa dimaknai dan dianalisis menggunakan sudut pandang Islam secara kontekstual, sekaligus mengandung unsur ironi dan jenaka. Penulis buku ini yaitu Fariz Alneizar cukup sukses menuliskan buah pemikirannya. Hingga menjadi sebuah buku senandika yang reflektif, ringan, sekaligus memberi pencerahan pada kita semua khususnya umat Muslim. Fariz dengan background pendidikan santrinya mencoba mengungkap realitas keislaman di sekitarnya dengan nalar yang moderat, kritis, dan jenaka.

Dia juga tidak segan mengangkat isu-isu sensitif seperti pada judul tulisan pertamanya di buku ini, Alim Prostitusi, Fakih Lokalisasi yang merupakan penjabaran perenungannya menyikapi persoalan prostitusi di Kalijodo, Jakarta. Dia berani mengajukan sebuah pemikiran bahwa adanya lokalisasi itu adalah usaha untuk meminimalisir praktik prostitusi dengan mengontrol dan melokalisirnya agar tidak liar. Dia berpandangan seperti itu karena melihat persoalan prostitusi tidak hanya sebagai persoalan agama melainkan juga persoalan sosial.

Isi Buku Muslim Pentol Korek

Pikiran-pikiran yang terkesan tidak umum dari pemikiran umat Islam pada umumnya juga banyak tercermin pada tulisan-tulisan lainnya dalam buku ini. Buku setebal 184 halaman ini terbagi dalam 3 bagian besar yaitu Kurasan I : Beragama Cara Santri, Kurasan II : Surat untuk Para Tokoh dan Kurasan III : Muslim Paripurna : Menjalankan Agama dengan Gembira.  

Sekilas, jika kita lihat dari daftar isinya saja, kita akan menjumpai judul-judul tulisan yang sangat menarik (begitu pula isi pemikiran yang tersaji di dalamnya) seperti Fatwa MUI Abadi, Kita yang Fana ; Mereka, Pembela LGBT itu ; Kekerasan Sejati Adalah Kelembutan Itu Sendiri dan sebagainya. Ada juga beberapa judul yang terkesan nyeleneh seperti Ustaz Khong Guan ; Adil, Udel, Adele ; Ilmu Kondom dan Bagaimana Orang Bodoh Menggergaji Angin dan sebagainya.

Jika ingin sedikit dijabarkan, Kurasan I lebih menunjukkan pemikiran-pemikiran Fariz tentang isu-isu yang dilematis. Isu-isu yang masih abu-abu dalam agama seperti LGBT, ketaatan pada kyai, perlakuan negara pada warga eks organisasi yang dianggap fundamental dan sebagainya. Di sini kita bisa melihat bagaimana fleksibilitas dan kualitas berpikir seorang santri moderat dalam memadukan dalil, ilmu pengetahuan, data penelitian serta logika menjadi perpaduan dialektika yang menarik, bahkan bisa dibilang segar. Seperti pada tulisannya yang berjudul Negara dan Stempel Alienasi Warga Eks Gafatar. Dia menjabarkan bahwa permasalahan warga eks Gafatar secara psikologis sangat kompleks. Namun, negara tidak melakukan rehabilitas agar warga bisa kembali dan berbaur pada masyarakat. Para warga ini justru harus berhadapan dengan ancaman alienasi dan pengasingan sekaligus pengucilan. Dia berani menyatakan bahwa negara dalam hal ini menjadi teroris bagi warga eks Gafatar.

Di Kurasan II, Fariz memainkan sedikit imajinasinya dengan membuat beberapa surat terbuka atau menceritakan tentang tokoh tertentu. Yang menarik adalah ketika dia membahas Tan Malaka. Sejarah mencatat Tan Malaka sebagai pengkhianat bangsanya sendiri, padahal perjuangan Tan Malaka untuk meraih kemerdekaan sangat besar kontribusinya. Fariz memiliki pikiran yang lebih segar lagi tentang anggapan ini. Dia melihat Tan Malaka sebagai sosok yang luar biasa dan layak diberi gelar santri karena mewakili secara subtansi spirit santri itu.

Kurasan III, Fariz membawa napas baru tentang bagaimana memahami hal-hal yang terkesan “saklek” dalam beragama, menjadi sebuah pemahaman yang fleksibel, mudah diterapkan dan tetap mengandung manfaat. Seperti dalam tulisan yang berjudul Membunuh Nabi-Nabi Virtual dan Tuhan Digital. Ini salah satu tulisan yang sangat kontekstual dengan kondisi sekarang dimana masyarakat begitu mudah percaya pada ustaz – ustaz youtube atau facebook yang secara kredibilitas dan kompetensi juga masih diragukan. Parahnya, masyarakat menjadi mudah percaya dan menganggap itu sebagai patokan yang benar tanpa menelaah jauh dengan nalar kritisnya. Hal ini secara tidak sadar menggeser perilaku masyarakat dalam belajar agama menjadi lebih pragmatis. Bahkan terkesan lebih “menuhankan” dan “menabikan” ustaz karbitan dan apapun yang disampaikan sosial media ketimbang belajar langsung dari sumber primer agama Islam.

Buku ini sangat menarik dibaca sebab diksi yang digunakan relatif mudah dipahami. Setiap tulisan tidak terlalu panjang. Berkisah antara 4-8 halaman per tulisan. Jenis dan ukuran huruf yang digunakan dalam buku ini, membuat pembaca tidak perlu mengeluarkan energi ekstra untuk membacanya sebab sudah pas untuk dibaca. Jelas dan tidak terlalu kecil. Kita tidak akan merasa jenuh sebab di setiap tulisannya selalu terselip guyonan yang tidak hanya lucu namun reflektif. Setiap tulisan tidak hanya berupa “ngalor ngidul” nya pikiran, melainkan ada kerangka berpikir, dilengkapi dengan data-data kualitatif seperti fenomena di media massa dan data-data penelitian. Di bagian akhir buku juga dilengkapi glosarium dan daftar istilah yang memudahkan pembaca melakukan pencarian cepat dan makna diksi tertentu. Selain itu, ada bibliografi yang bisa menjadi rujukan referensi lebih lanjut jika pembaca ingin mendalami tulisan yang ada di buku ini.

Di balik semua segi positif buku ini, terdapat beberapa kekurangan yaitu dari segi penerjemahan dan pengetikan. Pada beberapa tulisan, kita akan menjumpai penulis menggunakan bahasa daerah lokal namun tidak disertai artinya. Ini akan membingungkan pembaca yang tidak memahami bahasa itu. Yang cukup mengganggu adalah kesalahan pengetikan. Di semua artikel yang ditulis di buku ini, pasti ada bagian yang salah ketik. Ini cukup mengganggu ketika dibaca. Sepertinya, tugas editor dari penerbit ini perlu banyak dibenahi.

Kesimpulan Resensi Buku Muslim Pentol Korek

Buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan (bahkan yang bukan Muslim sekalipun) karena pembahasannya yang universal dan berangkat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Para santri, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum yang ingin mendapatkan sudut pandang lain dalam beragama, buku ini sangat direkomendasikan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar